7 Kebiasaan Boomer yang Membuat Mereka Berbeda dari Budaya Modern, dan Cara Menyambung Kesenjangan Itu

Perbedaan Generasi dan Cara Membangun Jembatan

Kakek saya pernah berkata, “Batu yang menggelinding tidak akan ditumbuhi lumut.” Kalimat sederhana ini dulu dimaksudkan untuk mendorong semangat perubahan dan pergerakan yang konstan. Namun di era modern, perubahan tidak hanya sekadar pergerakan—ia hadir dalam bentuk percepatan budaya, teknologi, dan nilai sosial yang sering kali terasa begitu cepat sehingga membuat siapa pun kewalahan.

Bagi generasi baby boomer—mereka yang lahir antara 1946 hingga 1964—perubahan ini bisa terasa sangat drastis. Boomer tumbuh di dunia tanpa internet, tanpa ponsel pintar, dan tanpa media sosial. Dunia mereka ditandai oleh stabilitas: koran pagi, radio, percakapan tatap muka, dan surat kabar yang jadi sumber utama informasi. Ketika budaya modern datang dengan arus digital yang tak terbendung, sebagian dari mereka merasa terasing.

Namun, penting untuk memahami: bukan berarti boomer tidak mampu beradaptasi. Hanya saja, kebiasaan lama yang sudah mengakar terkadang membuat mereka tampak terpisah dari budaya modern yang lebih cair, inklusif, dan serba cepat.

Berikut adalah beberapa kebiasaan khas generasi boomer yang sering menimbulkan kesenjangan dengan generasi lebih muda, serta cara menjembatani perbedaan ini agar setiap generasi tetap bisa saling terhubung:

1. Resistensi terhadap Teknologi: Antara Nostalgia dan Adaptasi

Generasi boomer tumbuh di era analog. Untuk mereka, komunikasi berarti tatap muka atau telepon rumah. Informasi berarti membuka ensiklopedia atau membaca surat kabar. Tidak heran jika smartphone, aplikasi digital, atau kecerdasan buatan terasa seperti “alien” yang tidak familiar.

Namun akar masalah sebenarnya bukan semata soal keterampilan teknis. Ia lebih dalam: sebuah pola pikir. Boomer terbiasa dengan stabilitas, sedangkan teknologi menuntut pembaruan tanpa henti. Bagi sebagian dari mereka, ini terasa melelahkan.

Resistensi ini bisa menciptakan jurang komunikasi. Saat anak muda menggunakan istilah seperti cloud storage atau streaming platform, sebagian boomer masih bingung cara mengunduh aplikasi. Hal ini berpotensi membuat mereka tertinggal dari arus informasi, bahkan terkadang menimbulkan stigma bahwa boomer “gaptek”.

Jalan Tengah

2. Tetap Mengandalkan Media Tradisional

Banyak boomer masih memegang teguh rutinitas membaca koran pagi dengan secangkir kopi. Gemerisik kertas dan aroma tinta cetak membawa nostalgia tersendiri. Namun di era digital, berita bukan hanya soal informasi, melainkan juga tren daring, viralitas, dan percakapan global di media sosial.

Mengandalkan media tradisional saja membuat boomer ketinggalan banyak hal. Mereka mungkin tahu tentang kebijakan baru pemerintah dari koran, tapi tidak paham fenomena TikTok viral yang sedang memengaruhi cara generasi muda berpikir dan berinteraksi.

Jalan Tengah

3. Ketakutan Kehilangan Kontak dengan Generasi Muda

Banyak boomer takut ditinggalkan budaya modern, terutama oleh anak dan cucu mereka. Kekhawatiran muncul ketika mereka merasa tidak paham aplikasi baru, bahasa gaul, atau tren populer. Rasa asing ini bisa menciptakan jurang emosional.

Ketakutan ini sering membuat mereka mundur. Alih-alih mencoba memahami, sebagian boomer memilih menghindar. Akibatnya, komunikasi lintas generasi bisa merenggang.

Jalan Tengah

4. Sindrom “Masa Lalu yang Indah”

Boomer sering bernostalgia tentang “masa-masa indah” ketika hidup terasa sederhana. Musik 70-an, permainan tradisional, atau kehidupan tanpa distraksi digital memang membawa kehangatan tersendiri.

Nostalgia berlebihan bisa menjadi penghalang untuk menerima realitas modern. Apa yang dulu dianggap keren mungkin tidak lagi relevan, dan jika boomer terlalu terpaku pada masa lalu, mereka bisa kehilangan kesempatan menikmati masa kini.

Jalan Tengah

5. Mengabaikan Kesadaran Lingkungan

Boomer tumbuh di era ketika plastik sekali pakai, kendaraan bermotor, dan konsumsi berlebihan dianggap wajar. Namun generasi modern tumbuh dengan kesadaran lingkungan yang jauh lebih tinggi, terutama terkait krisis iklim.

Ketidakpedulian lingkungan dapat menciptakan jarak dengan generasi muda yang memperjuangkan isu keberlanjutan. Mereka bisa melihat boomer sebagai generasi yang “boros” atau “kurang peduli” terhadap bumi.

Jalan Tengah

6. Mengabaikan Pentingnya Kesehatan Mental

Di masa lalu, kesehatan mental dianggap tabu. Boomer dididik untuk “tahan banting” tanpa banyak mengeluh. Masalah psikologis jarang dibicarakan secara terbuka.

Ketika generasi modern semakin terbuka soal terapi, konseling, dan self-care, sebagian boomer masih memandangnya sebagai kelemahan. Akibatnya, dialog lintas generasi tentang emosi dan mental sering buntu.

Jalan Tengah

7. Memegang Teguh Stereotip Lama

Boomer kadang terjebak pada stereotip—baik tentang diri mereka sendiri maupun generasi muda. Misalnya, anggapan bahwa generasi muda malas, manja, atau terlalu bergantung pada teknologi.

Stereotip ini memperlebar kesenjangan. Sebaliknya, generasi muda pun sering melabeli boomer sebagai ketinggalan zaman.

Jalan Tengah

Mengakui bahwa boomer memiliki kebiasaan yang membuat mereka tampak terpisah dari budaya modern bukanlah bentuk kritik, melainkan langkah awal untuk membangun pemahaman. Setiap generasi tumbuh dalam konteks berbeda, dengan nilai dan kebiasaan yang unik. Perubahan memang tidak mudah, tapi ia juga membuka peluang.

Bagi boomer, ini bukan tentang membuang identitas lama, melainkan memperluas perspektif. Bagi generasi muda, ini bukan tentang meninggalkan orang tua mereka, melainkan mengajak mereka berjalan bersama di jalur baru.

Dengan langkah kecil—mencoba teknologi baru, membaca berita digital, ikut peduli lingkungan, atau membuka percakapan tentang kesehatan mental—kita bisa menciptakan jembatan budaya yang lebih kokoh.

Ingatlah: dunia modern bukan hanya milik generasi muda, tetapi milik kita semua. Dengan saling belajar dan memahami, setiap generasi bisa memberi warna, kontribusi, dan kebijaksanaan untuk membangun masa depan bersama.

Exit mobile version