Kebijakan Monetisasi YouTube yang Menimbulkan Kontroversi
Sejak 15 Juli 2025, YouTube memperketat kebijakan monetisasi melalui program YouTube Partner Program (YPP). Fokus utamanya adalah pada konten yang dianggap “mass-produced”, “repetitive”, atau “inauthentic”. Hal ini sering dikaitkan dengan konten yang dibuat atau didukung oleh kecerdasan buatan (AI). Statistik menunjukkan bahwa lebih dari 42% video di YouTube Shorts mengandung unsur AI-generated content, mulai dari narasi suara sintetis hingga video yang dibuat secara otomatis.
YouTube menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memerangi konten sampah yang mengurangi kualitas pengalaman pengguna. Namun, implementasi kebijakan ini seringkali tidak transparan dan cenderung merugikan kreator yang menggunakan AI sebagai alat bantu secara sah dan kreatif. Banyak kreator asli mengalami pemblokiran pendapatan Adsense tanpa pemberitahuan jelas, meskipun karya mereka merupakan hasil ciptaan autentik yang dilindungi oleh hukum.
Perlindungan Hak Cipta di Indonesia
Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atas karya intelektualnya, yang timbul otomatis tanpa perlu didaftarkan terlebih dahulu. Dalam UU Hak Cipta, Pasal 4 menegaskan bahwa hak pencipta untuk melarang atau mengizinkan setiap penggunaan komersial atas karyanya. Dengan demikian, kreator memiliki posisi hukum yang kuat dan fundamental sebagai pemilik karya asli.
Namun, ketika YouTube memblokir monetisasi kreator tanpa alasan jelas atau bukti pelanggaran hak cipta yang sah, ini menjadi bentuk pelanggaran terhadap hak ekonomi kreator sebagaimana diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 53 UU Hak Cipta. Proses demonetisasi yang bersifat sepihak dan tidak transparan menimbulkan kerugian ekonomi nyata bagi pencipta.
Ironi di Balik Upaya Mengatasi Konten Sampah AI
Kebijakan YouTube yang berupaya menekan konten AI yang dianggap “sampah” sebenarnya adalah hasil dari sistem yang mereka bangun sendiri. Algoritma YouTube yang sangat fokus pada metrik view dan engagement justru memicu lahirnya konten massal, termasuk oleh AI. Monetisasi ditentukan oleh kuantitas klik dan durasi tonton, bukan kualitas dan orisinalitas karya.
Banyak kanal yang memproduksi konten repetitif dan AI-generated mendapatkan penghasilan signifikan sebelum kebijakan diperketat. Namun, ketika lonjakan konten sampah itu menjadi masalah, kreator termasuk yang orisinal justru menjadi korban demonetisasi agresif. Beberapa dari mereka hanya menggunakan AI sebagai alat bantu, dengan proses kreatif dan sentuhan manusia yang masih dominan.
Ketidakpastian Hukum dan Dampak Buruk bagi Kreator
Ketidakjelasan definisi dan batasan mengenai apa itu “konten AI” yang dilarang monetisasi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kreator. Tidak adanya mekanisme banding yang transparan dan adil memperburuk situasi. Kreator tidak mendapatkan hak untuk membela diri secara efektif, sehingga pendapatan yang sudah mereka peroleh selama bertahun-tahun bisa terhenti secara mendadak.
Secara hukum, asas praduga tidak bersalah dan perlindungan hak cipta menuntut adanya bukti pelanggaran yang jelas dan proses yang fair sebelum sanksi berat dijatuhkan. Ketiadaan prosedur ini melanggar prinsip due process yang juga diakui dalam berbagai instrumen HAM dan perlindungan konsumen.
YouTube sebagai Platform, Bukan Pemilik Konten
Secara hukum, YouTube berperan sebagai platform penyedia layanan, bukan pemilik konten. Oleh karenanya, YouTube wajib bertindak sebagai netral dan memberikan perlindungan yang adil kepada kreator, termasuk dalam hal monetisasi dan penegakan hak cipta. Tindakan demonetisasi sepihak tanpa bukti pelanggaran hukum yang kuat dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang merugikan pihak ketiga, yaitu kreator.
Pengadilan di berbagai yurisdiksi telah menegaskan bahwa platform digital harus memiliki prosedur penanganan sengketa yang transparan dan tidak diskriminatif, termasuk kewajiban untuk memberikan kesempatan banding dan klarifikasi kepada kreator.
Perlunya Regulasi dan Pengawasan yang Lebih Ketat
Kebijakan YouTube yang merugikan kreator menegaskan perlunya regulasi yang lebih tegas dari pemerintah Indonesia. Sampai saat ini, regulasi terkait monetisasi dan perlindungan hak cipta dalam platform digital masih minim dan belum mengakomodasi kompleksitas AI dan teknologi baru lainnya.
Pemerintah harus segera memperbarui UU Hak Cipta serta memperkuat fungsi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Perlindungan Data Pribadi (KPPD) pada UU PDP kelak agar dapat mengawasi praktik monetisasi konten digital secara adil dan transparan.
Selain itu, diperlukan pembentukan mekanisme penyelesaian sengketa khusus untuk kreator digital, agar mereka dapat melawan demonetisasi tanpa harus menempuh proses hukum yang panjang dan mahal.
Perlindungan Hak Kreator
Dalam menghadapi kemajuan teknologi, terutama kecerdasan buatan, YouTube tidak bisa lagi bersembunyi di balik algoritma dan sistem otomatis tanpa mempertanggungjawabkan dampak kebijakan monetisasi mereka terhadap kreator. Pemblokiran Adsense yang dilakukan tanpa proses yang transparan dan bukti pelanggaran yang jelas justru melanggar hak cipta kreator asli dan menimbulkan kerugian ekonomi yang serius.
YouTube harus mengubah pendekatannya dengan memperbaiki sistem evaluasi konten, memberikan kesempatan banding yang adil, dan berkomitmen menghormati hak kekayaan intelektual sebagaimana diatur dalam hukum nasional dan internasional. Pemerintah Indonesia pun harus mengambil peran aktif dalam menyusun regulasi yang adaptif terhadap perkembangan teknologi, sehingga perlindungan terhadap kreator digital benar-benar terjamin. Hanya dengan begitu, ekosistem konten digital Indonesia bisa tumbuh sehat, berkelanjutan, dan adil bagi seluruh pelaku kreatif.