Apa Itu Brain Rot dan Mengapa Bisa Terjadi?
Kata “cuma lima menit, habis itu aku akan belajar” mungkin sudah terdengar biasa di telinga kita. Banyak dari kita pernah mengucapkan kalimat tersebut, tetapi akhirnya justru menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton video TikTok atau scroll media sosial tanpa sadar. Kita tertawa melihat kucing yang sedang mempermainkan majikannya, tapi setelah itu, kita merasa bingung dengan apa yang telah kita lakukan selama beberapa jam.
Ternyata, kondisi ini tidak hanya terjadi pada diri kita sendiri. Banyak orang juga mengalami hal yang sama. Dalam bahasa populer, fenomena ini disebut sebagai brain rot. Tapi apakah sebenarnya brain rot itu?
Pengertian Brain Rot
Secara harfiah, brain rot berarti “otak membusuk”. Namun, istilah ini tidak digunakan dalam arti medis. Brain rot lebih menggambarkan keadaan mental di mana seseorang terlalu sering mengonsumsi konten yang cepat, singkat, dan kurang bermakna. Akibatnya, otak menjadi sulit fokus pada hal-hal yang lebih mendalam dan bermakna.
Menurut survei yang dilakukan oleh The New York Times, pengguna TikTok rata-rata membuka aplikasi tersebut antara 8 hingga 12 kali dalam sehari. Setiap sesi bisa mencapai durasi hingga 89 menit. Padahal, kita sering menganggapnya sebagai hiburan kecil. Nyatanya, ini justru seperti pekerjaan sampingan yang tidak dibayar.
Dampak Negatif Brain Rot
Ada beberapa efek negatif yang muncul akibat brain rot. Pertama, kesulitan untuk fokus. Membaca buku dua atau lima halaman saja terasa sangat berat. Kedua, ketergantungan pada dopamin. Otak kita terbiasa menerima hiburan instan, sehingga tidak betah ketika diperhadapkan dengan aktivitas yang lebih lambat, seperti belajar atau bekerja.
Selain itu, kita juga cenderung kehilangan tujuan. Kita sering lupa apa yang ingin dicapai karena terlalu lama melakukan scrolling. Perbandingan yang menarik adalah zaman dulu, di mana orang bisa duduk berjam-jam hanya untuk membaca novel tebal tanpa gangguan. Sekarang, kita hanya scroll lima detik, dan jika tidak menemukan sesuatu yang lucu, langsung swipe ke bawah.
Contoh Lain: Fenomena Hikikomori di Jepang
Ada contoh lain yang bisa dijadikan pelajaran. Di Jepang, sempat terjadi fenomena yang dikenal sebagai hikikomori, di mana remaja memilih mengisolasi diri karena kecanduan digital. Meskipun konteksnya berbeda, benang merahnya masih sama: otak terlalu jenuh oleh stimulus digital.
Solusi untuk Mengatasi Brain Rot
Jangan khawatir, saya tidak bilang kita harus meninggalkan TikTok sepenuhnya (saya pun tidak bisa). Namun, kita perlu belajar mengontrol diri. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
- Pasang timer saat membuka media sosial sebagai pengingat.
- Ganti konten receh dengan video yang membangun, meski tetap singkat.
- Luangkan waktu untuk membaca buku atau mendengarkan podcast.
- Coba melakukan digital detox selama satu hari, dengan membatasi penggunaan medsos.
Penutup
Scroll dan tertawa adalah hal yang sah-sah saja. Namun, jika kita sudah sampai lupa akan tujuan awal, maka kita harus mulai waspada. Jangan sampai brain rot menjadi gaya hidup yang kita normalisasikan.
Pada akhirnya, bukan hanya waktu yang hilang, tetapi juga diri kita sendiri. Kita perlu sadar bahwa kebiasaan yang kita lakukan sehari-hari dapat memengaruhi cara berpikir dan perilaku kita. Oleh karena itu, mulailah dengan mengatur penggunaan media sosial agar tidak mengganggu kualitas hidup dan produktivitas kita.