Gen Z dan Kesehatan Mental di Era Digital
Sebagian besar generasi Z (Gen Z) telah menyadari pentingnya kesehatan mental. Selain itu, mereka juga aktif mencari informasi terkait kesehatan mental melalui berbagai sumber. Perkembangan teknologi memengaruhi cara mereka mengelola kesehatan mental, termasuk penggunaan alat seperti kecerdasan buatan (AI) untuk mencurahkan perasaan.
Laporan UMN Consulting 2025 menunjukkan bahwa ketika merasa tidak sehat secara mental, perempuan cenderung lebih terbuka dalam mengekspresikan perasaan mereka, sedangkan laki-laki lebih memilih melampiaskan emosi melalui aktivitas fisik. Namun, di tengah perkembangan teknologi yang pesat, Gen Z mulai mengubah cara mereka mengelola kesehatan mental.
Di era digital ini, banyak dari mereka menjadikan AI seperti ChatGPT sebagai tempat untuk bercerita atau mencari dukungan. CEO OpenAI, Sam Altman, menyampaikan kekhawatiran terhadap kecenderungan ini. Ia mengatakan bahwa orang-orang, terutama generasi muda, terlalu bergantung pada ChatGPT. Beberapa bahkan mengatakan bahwa mereka tidak bisa membuat keputusan tanpa memberitahu ChatGPT tentang segala hal yang terjadi dalam hidup mereka.
Altman menyoroti risiko privasi yang muncul dari kebiasaan curhat berlebihan ke AI. Ia menjelaskan bahwa percakapan dengan AI bisa saja diminta untuk diserahkan secara hukum. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya konsep privasi yang sama seperti saat berbicara dengan terapis atau profesional lainnya.
Alasan Gen Z Mengandalkan AI
Laporan UMN Consulting mencatat bahwa sebesar 33,17 persen Gen Z beralih ke AI untuk mendukung kesehatan mental mereka. Dari berbagai alat berbasis AI, ChatGPT menjadi pilihan utama, diikuti oleh Gemini, DeepSeek, dan Copilot. Alasan utama Gen Z mengandalkan AI berkaitan erat dengan tiga hal: kenyamanan, biaya, dan kendali.
Banyak dari mereka menganggap AI lebih murah atau bahkan gratis dibandingkan konseling profesional. Mereka juga tidak perlu menyiapkan jadwal, sehingga dapat menggunakan layanan kapan saja. Selain itu, ChatGPT dirasa aman karena dapat melakukan konsultasi secara anonim, tanpa merasa dihakimi seperti ketika berbicara langsung dengan orang lain.
Sayangnya, meningkatnya ketergantungan ini juga terkait dengan hambatan akses layanan kesehatan mental konvensional. Di Indonesia, tercatat 2.112 kasus bunuh diri antara tahun 2012 hingga 2023, sebagian besar dilakukan oleh generasi muda. Angka ini menunjukkan besarnya risiko kesehatan mental yang dihadapi Gen Z.
Hambatan dalam Akses Layanan Kesehatan Mental
Beberapa hambatan utama yang dilaporkan Gen Z dalam mengakses layanan kesehatan mental antara lain merasa masalah mereka tidak cukup serius, tidak nyaman berbicara dengan orang asing, layanan terlalu mahal, serta kurangnya kepercayaan terhadap efektivitas layanan kesehatan mental.
Laporan UMN Consulting juga menyarankan beberapa pendekatan strategis untuk mengatasi fenomena ini. Salah satunya adalah ekosistem hybrid yang menggabungkan dukungan digital dan profesional agar lebih kredibel. Selain itu, pendekatan harus memperhatikan kenyamanan emosional agar dukungan mental dapat berjalan secara efektif dan inklusif.
Dengan semakin tingginya penggunaan AI dalam bidang kesehatan mental, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk memastikan bahwa layanan tersebut tetap aman, efektif, dan sesuai dengan prinsip privasi. Generasi muda perlu diberdayakan dengan informasi yang tepat agar dapat memanfaatkan teknologi dengan bijak.